Sabtu, 12 September 2009

Bersama Bintang

Malam ini langit yang biasa mendung tampak cerah
Awan putih berserah seperti taburan kapuk randu
Di baliknya membayang kerlip bintang

Keindahan langit seakan menghiburku yang tengah gundah
Sering kudongakkan kepala untuk melihat keindahan itu sambil menghela napas dalam
Sepi dan perih terasa seiring tarikan napas
Kulihat gugusan bintang membentuk sketsa kalajengking
Ah, untuk kedua kalinya dalam hidupku kulihat sketsa bintang itu
Dalam hati, kutanyakan padanya, ”hi bintang, apakah kamu punya kuasa untuk menyampaikan pesan?”
Bintang berkelip, tak ada jawaban

Ah, hatiku tambah gundah dan perih
Hi bintang, aku sepi, aku rindu, aku ingin menikmati belaiannya
Hi bintang, aku telah membuatnya terperangah tiba-tiba, sakit hati karena ucapanku
Tapi bintang, aku tidak menyesal dengan apa yang telah kuucapkan padanya
Aku merasa lega karena aku telah berkata jujur
Aku merasa lega karena aku berani menyampaikan rasaku padanya

Hi bintang, aku memang mencintainya tanpa alasan
Aku ingin sering bersamanya walau perjalanan cinta ini tak akan pernah ada ujung
Tapi bintang, aku bahagia kala bersamanya
Aku merasa penuh

Hi bintang, aku tak tahu apakah aku akan terus bersamanya
Aku tak tahu apakah dia masih menginginkan bersamaku
Akal sehat dan nuraniku mengatakan ’cukuplah sudah’
Namun sisi jiwaku yang lain mengatakan ’ikutilah gerak rasa kemanusiaanmu’
Rasa cinta ini menjadikan aku ’manusia yang penuh’

Hi bintang, aku sepi tanpa kehadirannya
Aku kering tanpa energi yang saling bertaut merindukannya dari kejauhan
Aku rindu suara beratnya
Ah, dia begitu keras tapi sekaligus perasa
Dia begitu tega tapi kadang tak sadar kalau dia tak mau orang lain melakukan itu padanya
Sedangkan aku, aku kepala batu dan seringkali tak peduli
Aku seringkali kehilangan kontrol diri dan mudah terpicu amarah dan emosi tanpa sebab
Yang satu ini adalah sisi lain dariku yang baru dia ketahui

Hi bintang, kini aku merasa sendiri
Waktu demi waktu bahagia yang telah kulalui dengannya terasa begitu singkat
Tapi bintang, aku juga harus menyadari kalau akupun harus merenda hariku sendiri
Aku harus menyusun tapak langkahku menuju masa depan sebagai seorang yang mandiri
Aku harus tetap menjadi tiang penyangga keluarga besarku yang saat ini rapuh
Aku harus rapikan kisi-kisi hatiku sendirian karena dia tak mungkin memasuki ranah ini
Aku tidak bisa berbagi dengannya karena hubungan ini tak biasa

Hi bintang, lihatlah, mataku basah
Hi bintang, sampaikan rinduku padanya
Sampaikan kalau aku mencintainya
Sampaikan terima kasihku karena aku pernah merasakan bahagia bersamanya
Pernah merasa dicintai sebagai perempuan
Sampaikan pula maafku kalau aku pernah menyakitinya
Apapun yang akan terjadi di antara aku dengannya, dia tetap seseorang yang spesial
Dia telah mengisi relung hatiku dan membuatku lebih dewasa

Hi bintang, aku ingin menari bersama angin dan bersamamu
Tuk redakan gulana dan menyatu bersama GAIA

Otista, 27 Januari 2009

Kosong

Perjalanan ini semakin tak kumengerti
Untuk ke sekian kalinya, aku melangkah tidak dengan keyakinan
Aku terseret arus
Aku bergerak tidak dengan rohku sepenuhnya
Aku bergerak untuk menemukan jawaban yang tidak cukup penting untuk kucari
Namun aku bangga dengan keputusanku
Aku bangga dengan keberanianku tuk jalani ketidakpastian di depan mataku
Aku bangga karena aku tidak terseret untuk hanya bergumam namun maju untuk berbuat
Aku bangga telah menjadikan diriku bagian dari proses pendewasaan sebuah sistem

Langkah sudah kuayun
Aku tak tahu apakah aku telah meletakkan tangga yang salah tuk gapai mimpiku
Atau ini adalah sebuah gerak dorongan sang Aku yang ingin menunjukkan jalan lain?
Akankah jalan ini panjang?
Keterjalan telah terpampang di depan mata
Aku tidak boleh menyerah sampai waktuku tiba untuk berhenti dan berkata ’cukup’

Walau bukan dengan kepenuhan hati, aku ingin menjadikan proses ini menjadi pembelajaran yang menyenangkan
Kuingin buka diriku tuk kembali mencari signal-signal petunjuk jalan menuju mimpiku
Akan kutembus semua kesempatan tuk kembali melihat kerlip lenteraku yang entah berada di mana

Otista, 11 Juli 2009

Selamat Jalan Mas

Dia telah berpulang
Aku tak begitu mengenalnya
Sajaknyapun tak satupun yang ku hafal
Kudengar kebesarannya dari pak Wanto, guru bahasa Indonesiaku ketika SMP
Katanya dia salah seorang sastrawan ternama

Ketika namanya disebut, tak sedikitpun hatiku bergetar
Ah, dia biasa saja
Bapakku jauh lebih luar biasa darinya, bisikku dalam hati

Tak diduga, delapan belas tahun kemudian aku bertemu dengannya
Bertatap muka, bercakap layaknya orang yang setara
Auranya tak juga menyentuhku
Terbersit dalam hatiku kala itu, kenapa aku ini, kok aku merasa biasa
Aku ini benar-benar mati rasa
Yang kuhadapi saat ini adalah si Burung Merak, yang sangat terkenal itu, yang sangat dikagumi guru bahasa Indonesiaku, yang selalu diperbicangkan ketika berbicara tentang puisi, yang selalu dihormati dan disegani
Kucoba putar otak dan hatiku sembari berbicara dengannya
Aku ingin merasakan merinding kala berbincang dengannya
Aku anak kemarin sore yang bukan siapa-siapa, rasanya kok terlalu pongah di hadapannya

Kata-kataku mengalir lancar, tanpa ragu
Dia sambut dengan serius dan kadang bercanda
Sesekali cerita-cerita berbau ’cabul’ tentang pengalamannya lugas meluncur dari bibirnya
Kuminta dia untuk mengisi orasi budaya, September 2004
Dan dia katakan ’ya, saya mau’

Tak kuasa aku memberi imbalan seperti orang lain
Keberanianku memintanya pun mungkin sebuah kekurangajaran
Dibentaknya seorang kawan karena aku dirasa tak menghargainya dengan uang sekecil itu untuk penampilan seorang Burung Merak
Merinding bulu kudukku mendengar kata-katanya yang menggelegar tiba-tiba
Pembelaannya terhadapku membuatku terhenyak
Merinding sekujur tubuhku ketika kurasakan dia menghargaiku begitu rupa
Tak dilihatnya aku seorang gadis ingusan yang bahkan tak mengerti apa itu seni
Pembicaraanpun tiba-tiba beralih tentang Babad Tanah Jawi, tentang tidak adanya ratu adil, tentang hidup dan kemudaan

Dan kini, dia telah pulang
Baru kurasakan kebesarannya
Dia memang luar biasa
Dia begitu rendah hati
Aku malu pada diriku sendiri
Aku yang bukan siapa-siapa seringkali tinggi hati

Mas Willy, energimu mempengaruhi banyak orang kala kau hidup
Dan kini, setelah kau tiadapun, energimu menyadarkanku untuk menjadi jiwa yang lebih baik

Selamat jalan mas Willy
Doaku untukmu di surga
Kau pernah mewarnai perjalanan hidupku
Kau pernah membuatku merasa bangga akan diriku
Kau pernah mengajarku tentang arti ’benar’
Sesuatu yang singkat dan kecil, namun begitu bermakna untukku, aku yang bukan siapa-siapa namun merasa bahagia menikmati perjalanan merenda harapan-harapan baru

Mataram,
8 Agustus 2009
01.44 am