Senin, 05 Januari 2009

Kabut Pagi

Desa Granting begitu dingin
Kabut pagi menutupi hamparan sawah terasering yang menghijau
Kurapatkan jaket hingga menutupi leherku
Titik titik air kabut menyapu wajahku
Kicau burung yang biasanya ramai bersahutan menyambut pagi, kini tak terdengar
Mereka mungkin masih meringkuk menghangatkan tubuh di sarang masing-masing

Kunikmati ketenangan dan hawa dingin ini sepenuh jiwa
Telah lama kutak lagi saksikan kabut di desa ini
Seakan Tuham menjawab kerinduanku akan suasana masa kecil di musim hujan
Ya.....kabut
Kuingat masa kecil dulu, aku selalu duduk di pinggir jembatan kayu untuk menikmati kabut sambil melamum
Merasakan dinginnya pagi dan maha karya alam yang begitu luar biasa
Hanya diam dan mengaktifkan semua indera dan juga hati
Yang ada hanya perasaan indah dan nyaman
Sebuah rasa menyatu dengan alam
Sebuah rasa menjadi bagian dari alam
Sebuah rasa terlimpahi karunia
Dan pagi ini rasa itu kembali hadir
Seakan ujung-ujung saraf ini kembali terbuka dan sensitif untuk merasakan GAIA

Granting, 2 Desember 2009

Tercerap Bayangan Romantisme Ambon

Tak pernah terlintas di benakku menginjakkan kaki di Ambon
Sebuah pulau kecil bagian dari kepulauan Maluku yang sejak dulu telah dikenal dunia karena rempahnya
Pulau yang terkenal dengan keindahan alamnya
Pulau yang terkenal dengan penyanyi-penyanyi bersuara merdu
Namun juga pulau yang pernah bersimbah darah karena perang saudara karena perbedaan agama

Roda pesawat Wings Air yang kutumpangi mulai menyentuh tanah beraspal bandara Pattimura
Segera terlintas di benakku pemandangan masa silam, lalu lalang kapal-kapal berbendera Portugis berseliweran di pelabuhan
Sepertinya romantis, pikirku
Ditambah lagi orang-orang berkulit putih, berjas putih dan bertopi putih berkeliling pulau naik kuda, wah waktu itu pakai kuda atau bendi ya?
Para pekerja perempuan memetik buah pala, merica dan cengkeh
Mereka pasti berwajah hitam manis rupawan, khas perempuan Maluku
Ah.....kenapa tak terlintas bayangan kelam konflik berdarah satu dekade lalu dan masih bersisa sampai sekarang ya?
Aneh, mungkin aku pecinta romantisme masa lalu
Hingga sejarah romantis saja yang ingin kucari dan cerap di setiap sudut tanah yang kuinjak di kepulauan nusa antara ini.

Ketika kakiku menapak di tanah bandara Pattimura
Aku disambut pemandangan pegunungan dan kabut tipis
Begitu bersih dan sangat berbeda dengan udara Jakarta yang pengap dan kotor
Segera terlihat wajah-wajah khas Maluku
Ada perasaan berbeda ketika kusapu orang-orang yang menunggu penumpang di balik kaca pengambilan bagasi pesawat
Ah, aku tengah berada di sebuah masyarakat yang lain
Sesuatu yang sering kurindukan, berada di sebuah komunitas yang berbeda dan dengan budaya yang berbeda
Sesuatu yang membuatku selalu ingin tahu kebiasaan mereka, cara berpikir mereka, kearifan budaya mereka dan tentu saja eksotisme alam dan wajah-wajah khasnya

Seorang teman datang menjemput
Sebuah mobil Avansa mengantarkan kami menuju kota tempat aku menginap
Mobil bergerak dengan kecepatan sedang, menyusuri jalan mulus memutari teluk Ambon yang berkelok – kelok
Di sepanjang kiri jalan, masih banyak bekas-bekas rumah terbakar yang mulai ditumbuhi semak belukar
Tak berani kubayangkan kekerasan masa silam
Kutepis jauh-jauh bayangan itu
Secepat kilat, kutata hati dan pikiranku untuk tidak mengarah kepada bayangan mengerikan konflik berdarah itu
Kutata diriku untuk memasuki eksotisme Ambon di antara kesibukan kerja yang akan kulakukan
Dan benar, aku berhasil mengendalikan diriku
Kunikmati kembali keindahan alam teluk dan daratan pegunungan memanjang di seberang sana
Hmmmm.........indah

Ambon, 9 Desember 2008

Kenangan di Ambon

Hampir dua minggu kuhirup udara Ambon
Kutelah telusuri pasar kumuh, gang-gang senggol, aroma merica tumbuk, perbukitan nan menawam, geraja tua buatan Portugis dengan jendela gaya aldeko di pucuk bukit desa Soya, wine pala yang menghangatkan badan di cafe Sibu-Sibu, ikan dan cumi bakar lezat di warung Sari Rasa samping cafe Tasdouv, ikan cakalang asap di sepanjang jalan Galala depan makam Victoria –makam prajurit perang Dunia II yang sangat terawat karena didanai langsung oleh Australia-, pantai pasir putih nan jernih di Natsepa, melintasi teluk Ambon dengan perahu dayung, sungai air panas tanpa bau belerang di tengah pepohonan sagu yang begitu nikmat di Tulehu dan terakhir hamparan pemandangan menawan pulau dan teluk Ambon dari ketinggian bukit depan patung Pahlawan perempuan Maluku Martha Christina Tiahahu.
Semua tempat itu kulalui dan nikmati di sela-sela kesibukan kerja yang mengharuskanku menelusuri Ambon
Beban kerja yang berat dengan jadwal yang begitu padat tak menyurutkan semangatku
Hujan pun kuterjang demi menemui beberapa orang
Aku puas, atas hasil kerjaku maupun kelana menyusuri kota Ambon

Ambon, aku ingin kembali lagi
Aku masih ingin menikmati pulau Pombo dan menyeberang ke Banda Neira
Aku ingin berendam di sungai air panas di Tulehu lebih lama sambil menyeruput kopi pahit yang begitu nikmat
Aku ingin melihat perkebunan rempah yang terkenal itu
Aku ingin melihat lebih banyak lagi perempuan-perempuan hitam manis berwajah khas Ambon yang begitu menawan, mereka sangat eksotis dan alami

Ah, pengalaman kerja berat itu begitu menyenangkan
Hatiku yang kerontang pun kembali sejuk dan menggerakkan jemariku untuk kembali menulis

Ambon, 19 Desember 2009