Rabu, 24 September 2008

HARU

Bergantian wajah-wajahmu menghiasi lamunanku
Ungkapan rindu nan ceria mengalir melalui teleponku
Lelah raga dan jiwa ini terobati sudah

Tapak kaki dan gelisahku kau sambut penuh arti
Senyumanku kau balas dengan madu
Betapa bahagia diriku menerima semua ini Puji syukur terucap dari bibirku yang gemetar
Kutersenyum dalam haru

Ah…..ternyata masih banyak permata-permata yang dengan tulus menebarkan kasih
Sebuah kasih yang melintas batas identitas, namun justru dengan kasih ini identitas-identitas muncul begitu anggun, tanpa harus dikumandangkan kepada khalayak
Sebuah kasih yang meluluhkan ke-aku-an
Sebuah bukti, bahwa apa yang diperbuat bukan untuk dilihat oleh dunia, namun untuk mempengaruhi dunia, walaupun dunia itu sebatas keluarga sekalipun

Aku bangga, dalam rentang hidupku, aku sempat mengenal permata-permata langka di tengah kepongahan dunia
Aku bangga pernah berdialog dengan mereka dalam kasih
Tak ragu aku berkata, sebuah kekuatan putih yang dahsyat dapat lahir dari gerakan permata-permata di jalan Pedati, yang energinya akan merembes tuk menebarkan hawa kemanusiaan, semangat hidup, kerja keras dan kasih putih
Terima kasih teman
Telah kau torehkan mosaik indah dalam perjalanan hidupku yang singkat ini
Semoga apa yang kita lakukan, bermakna

Jakarta, 25 Februari 2005

MENUJU ASA

Dunia seakan memancarkan energinya tuk mendukungku
Rintangan seakan sebuah kesempatanku untuk menjadi lebih dan lebih lagi
Semakin ringan langkahku menuju asa
Semakin terbuka pintu-pintu pilihan setelah sekian lama kubersimbah air mata tuk mencari diri
Ekspresi demi ekspresi identitas kemanusiaanku melalui kerja, karya, kasih alam, mengalir bagai cucuran air terjun Cigundul yang penuh kekuatan
Kekuatan dalam kepasrahan dan gairah hidup yang menyala indah

Sejenak kuteringat sahabat indahku di Bulukumba
"Rasakan energi itu memenuhi tubuh kita, jagalah dia karena seringkali pikiran itu pergi tak terjaga"
Teringat pula sahabat indahku di bumi Buitenzorg
"Bila kau kehilangan matahari, ada bintang kecil yang selalu menunggumu"
Sobat, terima kasih....kehadiranmu telah mendukungku, tuk berjuang dengan diri menghadirkan roh di tengah savana kerontang bumi Jakarta

Jakarta, 29 Juni 2004

TUBUH

Ringan kutarik nafas, kehembuskan sepenuh jiwa dalam kepasrahan
Kupusatkan pikiranku pada paru-paru, jantung dan pembuluh-pembuluh darah yang mengalir deras namun lembut di sekujur tubuhku
Sambil terpejam, kurasakan hangat mengalir di sekujur tubuh
Kosong…..ringan……dan pasrah pada gerak ilahiah

Gerak ilahiah itu sering kulupakan
Gejolak pikiran dan nafsu jiwa membuatku melupakan tubuh
Ia seakan begitu asing bagiku
Tak jarang ku mengumpat, mengeluh dan merajuk ketika tubuh terasa sakit
Tanpa sadar, tubuh telah menjadi korban

Tubuh, alangkah kejam aku pada dirimu
Ingin kutebarkan kasih pada banyak tubuh dan jiwa manusia lain
Namun sering kulupakan dan kusakiti tubuhku sendiri
Karunia ilahi yang begitu mulia dan indah ini seakan kucampakkan begitu saja, kuracuni dengan makanan yang merusak, kuhirup udara yang korosif, kusalahkan dia ketika sakit, kueksploitasi dia ketika jiwaku terpuruk………….
Betapa bodoh diriku

Apalah artinya aku tanpa tubuh?
Siapakah aku tanpa tubuh?
Mampukah aku berkarya tanpa tubuh?
Bagaimana aku bisa mengekspresikan beribu imagiku tanpa tubuh
Aku ternyata sangat bergantung pada tubuh indah ini
Tubuh yang tanpa sadar telah kuanaktirikan

Tubuh……
Sakitmu telah menyadarkan pikiran dan nafsu liar yang penuh kekerasan padamu Sakitmu mengingatkan pikiran dan nafsu untuk berjalan seirama denganmu
Sakitmu adalah teguran dari Sang Suci akan kedirian pikiran dan nafsu
Tak pantas kumengeluh sakit apalagi mengumpat
Karena aku telah mencampakkanmu

Tubuh….
Mulai kini kau adalah aku
Aku adalah tubuh, pikiran, nafsu dan energi suci yang membuat hidup
Kita tak terpisahkan dalam jalinan kesalingbergantungan, sampai ajal melepaskannya
Ingin kucintai semua penyusun ‘Aku’
Dan ingin kutebarkan pula cinta pada semua penyusun ‘Mereka’
Hingga jalinan kesalingbergantungan itu ada dalam ‘kita’
Yang akan mewarnai evolusi maupun revolusi suci dalam keduniaan yang ilahiah

Tubuh………. Adalah mahakarya dan citra ilahi

Jakarta, 25 Juli 2004

CELOTEH DI SIANG BOLONG

Tiang-tiang kebenaran itu begitu kokoh, tinggi dan angkuh
Begitu kokohnya hingga terkesan seram
Siapakah pemberani yang berani menghampirinya?
Orang gilakah?
Mungkin

Kebenaran bagaikan barang suci yang tak tersentuh
Kebenaran hanya untuk orang-orang yang katanya ‘suci’
Kebenaran bukanlah untuk pelacur, pendosa, pedangdut erotis atau anak nakal yang rajin bertanya
Kebenaran hanya untuk orang-orang bertopeng emas

Lalu siapa sebenarnya pemilik dan pengemban kebenaran?
Barangkali pemiliknya adalah Tuhan kalau orang percaya pada imagi Tuhan

Namun manusia-manusia bertopeng itu telah mengambil alih kebijaksanaan Tuhan
Merekakah wakil Tuhan?
Atau mereka telah berani menganggap diri Tuhan dengan menyebut kalimat-kalimatnya
Aneh…kok ada Tuhan manusia berkepala hitam, putih, coklat atau keriting

Dan kebenaran tidak menyapaku walaupun aku sudah berusaha menceburkan diri dengannya
Aku bukan kategori pelacur atau icon rusak lainnya yang telah dihakimi peradaban mayoritas
Lalu kenapa aku ini, yang selalu dipandang salah, bodoh atau menuju kekafiran?
Atau mungkin di luar kesadaranku aku termasuk dalam icon rusak
Aku tidak tahu

Wah…..mengerikan

Setelah aku bertanya nakal, ternyata kebenaran itu relatif, tergantung kaca mata
Ini lebih membingungkan
Atau seperti kata orang-orang bahwa kebenaran dan rasionalitas itu musti dibenturkan
Atau seperti kata penentangnya bahwa kebenaran itu tidak perlu dibentur-benturkan
Hingga yang ada adalah pluralisme sebagai kenyataan

Ah…semuanya juga pendapat saja, siapapun boleh bicara
Termasuk mbah Wagirin, pakde Lasio atau mbokde Sainah
Tidak hanya yang bernama mentereng macam Descartes atau Illich

Lalu gimana? Bingung to?
Memang, mungkin abad ini adalah abad bingung
Abad olok-olok, bagai sebuah permainan kehidupan materi maupun pikiran
Jadi ya…ayolah saling berolok tapi penuh kasih dan persahabatan
Mungkin dari situ kita akan menemukan kebenaran yang sebenarnya

Jakarta, 2 Juni 2003

BELANTARA -ISME

Kembali kubertanya tentang dunia ideal impian para aktivis
Bermacam –isme terhampar luas bagai hutan belantara
Sepak terjang atas nama -isme mewarnai percaturan anak-anak negeri ini

Kutapakkan kakiku yang gelisah di antara rimbunan belukar
Sesekali kulongokkan kepalaku tuk menangkap kesejatian
Kucoba terbang tuk melihat mosaik belantara -isme dan klaim kebenaran
Berkali kutermenung Berbagai paradoks mewarnai tingkah polah manusia atas nama –ism
Purifikasi diri dilakukan dengan memperolok orang lain sesama aktivis
Makna sinergi hanyalah utopia yang menghiasi bibir-bibir yang tak henti bergerak
Egois tanpa disadari telah melingkupi perjuangan atas nama rakyat

Pletak……Sebuah ketapel menghantam kepalaku
Kuturunkan sayapku dan kutarik napas dalam
Seakan kudiingatkan oleh energi suci
Tuk menghentikan penghakimanku atas mereka
Tuk kembali melihat penghakimanku atas aku
Kembali kutarik napas dalam
Kuputuskan tuk berhenti sejenak dalam kata ‘memang sulit untuk menjadi organis dalam sebuah gerakan’

Jakarta, 10 Desember 2003, 24:00 WIB

DERU DEBU-DEBU

Aku adalah setitik debu di tengah alam raya ini
Angin akan menerbangkanku mengikuti arah perjalananku yang tiada berujung
Apalah artinya debu itu bagi dunia?

Debu itu akan menempel tak tentu
Namun debu itu bisa berkumpul menjadi satu dan bersama angin, ia bisa meniupkan taufan yang mengerikan.
Ia bisa memporak - porandakan kemegahan dan kepongahan dunia.

Debu tidak boleh sendirian karena dia akan selalu dibersihkan dan dipandang sebagai kotoran.
Debu harus menghimpun energi dari segala penjuru sumber
Debu harus mampu menggerakkan energi dari segala penjuru sumber
Debu harus mampu bekerjasama dengan angin untuk satu
Debu harus mampu menghimpun semangat dan kekuatan putih dalam damai
Deru satu dalam debu-debu akan mengoyak dunia yang menindas dan menuju kehancuran
Deru satu dalam debu-debu akan membalik peradaban dalam damai bersama ketenangan alam yang tunduk satu pada ‘kasih’.

Taman Cilaki Bandung, 24 Februari 2003

GELORA ABADI

Hidup digerakkan oleh mimpi
Karenanya perjalanan menjadi penuh gairah
Karenanya hidup menjadi bermakna

Setiap perjumpaan dan pertemuan seringkali menginspirasi
Tuk memperkaya rasa dan mempertajam mimpi
Seringkali sederhana namun dalam

Mimpi-mimpi itu semakin mengembang
Tak pernah habis ditelan zaman
Kreasi cerdas selalu muncul
Penuh energi kerinduan akan makna hidup dan kebenaran abadi

Lentera abadi menerangi perjalanan
Petunjuk suci melalui sinyal-sinyal ilahiah
Keikhlasan dan pasrah menjadi pagar keabadian
Tuk mengawal gelora yang terus menyala liar

Tertunduk dalam sujud
Kokoh berdiri menatap bintang-bintang
Nun jauh di sana, harapan terus melambai
Tapak langkah penuh keyakinan menyusuri monumen-monumen karya diri
Tuk gapai bintang, tuk gapai mimpi, tebarkan kasih dan gelora kepada yang lain
Diri terinspirasi untuk menjadi inspirasi bagi yang lain

Jakarta, 14 May 2005

GAIA MENEMBUS

Dingin udara subuh menyergap raga
Kubuka jendela lebar-lebar
Keremangan pagi dan cahaya jingga di ufuk timur perlahan menerang
Burung-burung kecil begitu riang bercanda di atas atap
Kicaunya melengkapi keindahan yang akan terulang esok hari
Sejenak, kunikmati maha karya alam
Begitu tenang dan menyejukkan

Sejenak, kulupakan kepenatan kerja dan hidup
Kulupakan mimpi-mimpi yang selama ini selalu mengusik
Kulupakan juga dosa-dosa yang menggelayut di sekujur tubuh
Jiwa yang tenang dan merasakan kehadiranku secara sadar di dalam gaia

Alangkah nikmat anugrah subuh yang tak tiap hari kutemui
Kurasakan diriku menyatu dalam gaia
Energi-energi itu menembus ruang-ruang dalam pori-pori kulit, otot, pembuluh darah, kepala, mengalir serentak ke sekujur tubuh dan memunculkan sebuah sensasi keindahan
Inikah energi surgawi dalam keduniaan itu?
Kuserap kekuatan itu dalam ketenangan, sederhana dan pasrah
Pelan namun mengalir dalam kekuatan yang melegakan
Kesejukan yang luar biasa indah berlangsung beberapa saat lamanya
Hingga terang merangkak ke atas, diiringi birunya langit, kabut tipis dan berhentinya kicau burung di antara ranting pohon sukun

Jakarta, 5 Januari 2006

BULUKUMBA MENGUSIK

Kuterpana melihat wajah tenang namun penuh energi dan keyakinan
Sebuah gelora bak kawah merapi dibalut dalam kesederhanaan
Jujur aku cemburu melihatnya
Gelora itu pernah aku rasakan sebelumnya, tumbuh dan bersemayam dalam diriku
Namun kini, kalbuku begitu kerontang.
Hanya kegelisahan tanpa greget yang ada padaku.

Bulukumba mengusikku tuk kembali melihat perjalanan hidupku, kesejatian hidup dan sejumlah pertanyaan lain tentang dunia.
Lorong-lorong kampung, tanah becek, rumah-rumah panggung beratap kajang, mata-mata bening penuh kesederhanaan, dan…mutiara itu…..membuatku tertunduk dalam diam.

Kutersadar dalam ketidakberdayaan.
Namun secercah cahaya selalu hadir di lubuk hati.
Sekecil apapun yang kulakukan semoga bermanfaat dan bukan maksiat.
Aku tahu, aku bukan siapa-siapa.
Aku hanya setitik debu yang punya mimpi untuk memahami dunia.
Dan kuingin mencari mimpi itu dalam diriku

Bulukumba, 21 Juni 2003

ROH ITU BELUM HADIR

Hari-hari kutapaki dengan penuh semangat
Ingin selalu kujaga energi itu untuk menjadikan diriku manusia yang sadar
Kuberhasil mendepak setiap kemalasan yang seringkali muncul
Ya….aku berhasil melakukannya

Namun, bara semangat itu masih terasa kosong
Kumasih bingung, apa yang sebenarnya ingin kurengkuh?
Sebuah energi gerakankah, pembebasankah ataukah energi untuk menemukan tujuan hidup itu sendiri?
Kutak tahu

Kuingin terus mencari dan mencari
Di setiap celah yang memungkinkanku untuk mengembara, mereguk makna dan madu kehidupan
Kulongokkan kepalaku ke dalam pusaran demi pusaran kehidupan
Semuanya memperkaya jiwa dan pikiranku sekaligus membuatku semakin banyak bertanya
Namun ada satu pusaran yang selalu membuatku melayang penuh gairah
Relawan…ya…ketika aku bertemu dengan orang-orang yang berubah bersama dalam kehadiranku Indah….hanya itu yang dapat kukatakan
Energi itu bagai menari-nari di sekeliling kami, menarikku tuk hanyut dalam pesonanya
Inikah citra Sang Suci yang akan menuntun perjalanan hidupku sampai akhir hayat?
Sekali lagi ku tak tahu

Aku tak akan pernah menyerah untuk terus mencarinya, menemukan pusaran kehidupanku melalui sinyal-sinyal kasih Sang Suci yang selalu tertumpah untukku dalam berbagai wujud
Wahai Cahaya….kusambut setiap taburan kasih dan pelajaranmu dengan penuh keikhlasan
Setiap hari adalah kabar gembira dari-Mu untukku dan dunia
Kupercaya, rengkuhanmu akan menghadirkan Roh yang belum melingkupiku saat ini

Jakarta, Kamis, 2 Oktober 2003

KUTEMUKAN KEMBALI MATAHARI

Kulihat sejuta permata di bumi Parahyangan
Matahari yang sebelumnya meredup kembali bersinar
Bukan hanya bintang kecil yang menungguku kawan, namun begitu besar bintang itu.

Kurasakan ekstasi jiwa dan deru semangat untuk beberapa saat lamanya.
Peluk cium mereka, celoteh mereka dan kegelisahan mereka membuatku kembali hidup dan penuh semangat
Betapa indah......

Kutemukan banyak kasih yang begitu tulus di sana
Semangat dan aksi mereka bagaikan energi yang menari-nari mengelilingi gerak tubuh yang tak henti berkarya
Jalinan energi itu begitu murni dan muda
Aku bahagia karena aku berada di dalam lingkaran energi itu dan aku turut membangunnya di masa lalu dengan air mata dan darah
Kawan, deru debu-debu itu mulai nyata
Dia akan tetap menderu seiring kecongkakan zaman
Namun dia juga bisa mati seiring matinya sebuah nurani

Cilaki, 25 April 2004

KESEJUKAN SEBUAH SORE

Kabut turun dari lereng merapi
Sawah di kejauhan perlahan berubah menjadi putih
Perlahan kabut berganti menjadi hujan rintik dan menderas
Pelataran belakang rumah yang begitu bersih di antara pohon rambutan, manggis, kepundung, nangka dan kelapa begitu damai disiram air hujan
Suara hujan dari atas genteng dan bau harum tanah mengingatkanku kala masa kecil
Begitu damai tanpa jerit kemiskinan seperti dulu
Ketika kami masih berada di dalam gubuk reot hasil karya anyaman bambu bapakku
Dan lantai tanah yang menghitam keras karena berpuluh tahun diinjak oleh kaki-kaki tak beralas.

Kuedarkan pandangan menyapu dapur ala desa yang luas dan amat bersih.
Tungku gerabah, pogo tempat menaruh kayu bakar, lincak tempat mempersiapkan makanan dan kadangkala untuk tiduran, dan sebuah kompor gas lambang modernitas
Sebuah baskom berisi kain lap berada di tengah lantai dapur
Air menetes dari atap, ternyata dapur ibuku masih bocor
Pasti karena buah durian yang jatuh menimpa genteng atau gentengnya melorot karena angin pegunungan yang begitu kencang

Kulanjutkan pikiranku mengembara dalam damai
Dalam pasrah menikmati maha karya alam yang begitu luar biasa sore ini
Sambil bersandar di pintu dapur, kumerasakan kebebasan, tanpa beban
Begitu ringan dan amat mewah di tengah kesibukan dan gejolak mimpi yang tak mengijinkanku untuk berhenti walau sejenak
Oh Tuhan…..Kau tetap berikan cinta dan rasa bahagia ini pada diriku yang pendosa
Cintamu sunguh tak bersyarat
Puji syukur dan sembah sujud kuhaturkan untukmu yang tak henti memberiku rahmat dan kebahagiaan
Kesusahan dan kesulitan masa lalu yang kujalani dalam kepasrahan dan perjuangan telah Kau tukar dengan banyak kebahagiaan yang berlimpah

Ibu……aku bisa menatap mata dan wajah jelitamu dalam kebebasan
Kurasakan himpitan derita yang kau alami sejak kecil perlahan berkurang
Wajah jelitamu dalam keriput kini mulai cerah
Untuk menatap matahari dan kepasrahan dalam rengkuh ilahi

Granting, 1 November 2005

MELINTAS BATAS RUANG

Kususuri sebagian kecil belantara Jakarta untuk memperdagangkan sebuah ide
Kutemui ruang-ruang yang penuh dengan aneka pemikiran
Ada yang asal berpendapat, ada juga yang begitu keras pada keyakinannya
Semuanya membentuk ruang tersendiri yang kadangkala diwadahi dalam ruang fisik tumpang tindih

Kukulum senyum dan kunikmati gesekan antar ruang pemikiran yang membuatku dinamis
Kadangkala aku lelah menyusuri aneka ruang itu
Namun kebodohan dan keingintahuanku membawaku mencebur lebih jauh
Kucoba menarik diri dari peta aneka ruang itu
Klaim kebenaran ada di mana-mana
Seringkali diikuti oleh polah angkuh dan congkak dengan menghujat pandangan ruang lain atau lebih parah lagi pada individunya
Ah…..untuk ke sekian kalinya aku kecewa
Ternyata ruang-ruang komunitas maupun individu yang katanya pembawa warna wajah kebudayaan adi luhung pun menyimpan kedengkian
Sebuah kekerasan gesekan antar pemikiran begitu jelas melintas batas ruang
Sepertinya, semakin tahu lebih banyak, semakin tinggi dinding yang diciptakan untuk bisa sekedar berbagi dengan ikhlas dengan yang lain
Sebuah kecongkakan muncul sebagai perwujudan krisis identitas yang tak disadari

Kembali kukulum senyum, termasuk senyum untuk diriku sendiri
Hujatan dan sindiran sinis kerap kali mampir di telingaku
Kucoba ikhlas menerimanya
Semakin aku disudutkan dan dipandang kecil semakin aku menjadi kuat dan percaya diri
Kucoba pula serap kecerdasan para dewa yang kadang merasa telah berbuat banyak dan paling benar Sekali lagi aku tersenyum untuk diriku
Ah…..seringkali akupun bertingkah seperti mereka

Tiba-tiba kuingat ayahku
Dengan sindiran sinislah ia mendidikku untuk menjadi bebas
Sekarang kutuai pelajaran yang tak pernah ia ungkapkan maksudnya
Mungkin dia juga tidak sadar, kalau caranya itu sebenarnya mempersiapkanku menghadapi dunia nyata

Kebenaran, sebuah rahasia yang tak kumengerti
Kebenaran bagiku adalah ungkapan cinta kasih
Kebenaran bagiku adalah pengorbanan dan kerelaan untuk berbagi dengan yang lain
Kebenaran bagiku adalah suara nurani dalam bisikan kasih abadi dari Sang Suci
Dan kini, kuputuskan untuk mencoba melintas batas ruang tuk melihat berbagai klaim kebenaran
Tuk mencari dan menikmati kebenaran hakiki yang ilahiah
Aku percaya, kebenaran akan miskin makna ketika hanya dalam dialektika pikiran
Kebenaran haruslah dibawa dalam praksis untuk menguji kesuciannya
Dia ada karena dia adalah pesona rahasia

Jakarta, 5 Oktober 2004

PARLIAMENT BUILDING

Warna-warni lilin menerangi malam di tengah hamparan salju putih
Parliament building, gedung tua nan cantik itu terasa ramah menyambut kelahiran Yesus
Silih berganti, bendera-bendera negara bagian menerangi menara dan tembok bertekstur
Ajakan perdamaian dan persaudaraan terus menggema
Serentak, lampu menyala mengelilingi pohon-pohon maple dan pinus di seluruh penjuru kota
Semua tunduk dan larut dalam syahdu
Kesunyianpun pecah seiring nyala lampu di menara gedung tua itu
Pertanda natal telah menjelang
Salju makin lebat turun
Semilir angin dingin kutub utara dan rintik salju bak kapas mengantarku pulang menuju mimpi

Ottawa, 22 Desember 2004

STRUGGLING TO SURRENDER

Perjalananku mencari terang dan kedamaian begitu panjang dan menyakitkan. Sejuk hatiku ketika kutatap wajah Maria dan dinginnya lantai gereja ketika aku kanak-kanak. Kasih....ya...aku merasakan kasih. Di depan altar kubersujud mencari Tuhan, kekasih mayaku yang jarang sekali aku rasakan kehadirannya. Namun aku tersandung. Kenyataan lain membawaku menjadi seorang muslim tanpa kusadari. Diriku bagai dicuci otak untuk menjalani semua ritual seakan aku ini sebuah robot mungil. Aku selalu bertanya, kenapa tuhan manusia berbeda-beda ? Ketakutan akan neraka dan kekecewaanku akan bayangan surga membawaku pada kegelisahan yang luar biasa. Aku bagai bukan manusia karena aku tidak punya arti. Buku dan pengajian yang aku ikuti membuat aku semakin dihakimi dan merasa bagai seorang kafir. Aku kafir Tuhan....karena aku tidak bisa menerima seruan-Mu yang disampaikan oleh para ustad dan buku-buku itu!!

Mulailah aku berdialog dengan diriku sendiri bagai orang gila, bicara sendiri, menangis, tertawa, marah dan mengumpat. Aku bagai merpati gila tiada pegangan. Buku-buku merah mulai aku sentuh di bangku SMA. Pram, de Mello, Qibran, sampai suatu ketika aku temukan Ahmad Wahib. Hatiku lega berdialog dengan tulisan-tulisan itu. Wahib menyadarkanku kalau aku bukan gila. Dia adalah sahabat virtualku yang mampu membuat titik balik dalam kehidupanku. Dari de Mello aku pahami arti perjumpaan dan pertemuan, aku pahami arti cinta, ikhlas, munafik, dan pilihan hidup.

Lamunan demi lamunan semakin menggila setelah pertemuanku dengan Freud, Freire, Capra, Redfield, Hasan Raid, salman rusdi, Cabral, anand krishna. Dialog nuraniku dan otakku dengan karya mereka sempat membawaku menjadi seorang ateis untuk beberapa waktu. Aku bagai terbang bebas di atas awan-awan putih, aku menyatu dengan gumpalan-gumpalan yang mampu menenggelamkan kepak sayap putihku yang gelisah. Tapi akhirnya aku jatuh menjadi banyak kepribadian, aku tidak lagi utuh, aku merasa tidak punya identitas akan diri, aku hancur tanpa energi kasih di kalbuku. Aku patah seperti Sybill. Namun akhirnya sebuah cahaya yang membuatku tunduk untuk bersujud datang bagai mencabut ruhku, membawaku terbang dalam ketiadaan...kosong....ringan.....aku tahu...aku tahu...itu adalah cahaya kasih dari Sang Suci yang tak pernah dapat diindera makhluk namun hanya dapat dirasakan kehadirannya. Citranya ada di mana-mana. Ia tebarkan kasih melalui kebahagiaan dan juga derita untuk memanggil kekasih-kekasihnya yang lemah namun penuh kesombongan. Aku pasrah dan sujud dalam cahaya kasihnya. Aku percaya yang tidak bisa kujelaskan dengan kata-kata untuk membuatnya menjadi rasional.

Jefrey Lang, titik balik kedua dalam kehidupanku membawaku untuk mengkaji lebih jauh. Dan cahaya indah itu menggerakkan tangan dan jiwaku untuk membuka Buchori. Dia membawaku berkenalan dengan rasul dan kitab yang telah sekian lama aku sanggah dan kadang aku umpat.

Aku pasrah dalam kesadaran. Kebodohan dan kelemahan akalku membawaku pada sebuah pengalaman rasa. Aku begitu lemah, jangkauan akalku begitu sempit untuk mengungkap rahasia dunia, aku hanya bisa merasakan dan berkata......hi cahaya......sirami aku dengan hawa sejukmu, temani aku dalam kegelisahan, sapalah aku untuk selalu terjaga dan doronglah aku untuk melakukan! Kau adalah Sang Aku yang selalu kurindukan.

Bandung, 8 Januari 2003