Rabu, 24 September 2008

KESEJUKAN SEBUAH SORE

Kabut turun dari lereng merapi
Sawah di kejauhan perlahan berubah menjadi putih
Perlahan kabut berganti menjadi hujan rintik dan menderas
Pelataran belakang rumah yang begitu bersih di antara pohon rambutan, manggis, kepundung, nangka dan kelapa begitu damai disiram air hujan
Suara hujan dari atas genteng dan bau harum tanah mengingatkanku kala masa kecil
Begitu damai tanpa jerit kemiskinan seperti dulu
Ketika kami masih berada di dalam gubuk reot hasil karya anyaman bambu bapakku
Dan lantai tanah yang menghitam keras karena berpuluh tahun diinjak oleh kaki-kaki tak beralas.

Kuedarkan pandangan menyapu dapur ala desa yang luas dan amat bersih.
Tungku gerabah, pogo tempat menaruh kayu bakar, lincak tempat mempersiapkan makanan dan kadangkala untuk tiduran, dan sebuah kompor gas lambang modernitas
Sebuah baskom berisi kain lap berada di tengah lantai dapur
Air menetes dari atap, ternyata dapur ibuku masih bocor
Pasti karena buah durian yang jatuh menimpa genteng atau gentengnya melorot karena angin pegunungan yang begitu kencang

Kulanjutkan pikiranku mengembara dalam damai
Dalam pasrah menikmati maha karya alam yang begitu luar biasa sore ini
Sambil bersandar di pintu dapur, kumerasakan kebebasan, tanpa beban
Begitu ringan dan amat mewah di tengah kesibukan dan gejolak mimpi yang tak mengijinkanku untuk berhenti walau sejenak
Oh Tuhan…..Kau tetap berikan cinta dan rasa bahagia ini pada diriku yang pendosa
Cintamu sunguh tak bersyarat
Puji syukur dan sembah sujud kuhaturkan untukmu yang tak henti memberiku rahmat dan kebahagiaan
Kesusahan dan kesulitan masa lalu yang kujalani dalam kepasrahan dan perjuangan telah Kau tukar dengan banyak kebahagiaan yang berlimpah

Ibu……aku bisa menatap mata dan wajah jelitamu dalam kebebasan
Kurasakan himpitan derita yang kau alami sejak kecil perlahan berkurang
Wajah jelitamu dalam keriput kini mulai cerah
Untuk menatap matahari dan kepasrahan dalam rengkuh ilahi

Granting, 1 November 2005

Tidak ada komentar: