Selasa, 25 November 2008

Mengingatmu

Terpana kupandang tubuh pucat yang tinggal tulang berbalut kulit. Matanya terkatup rapat. Muka itu nampak begitu tenang dan bersih. Kucium dan kupeluk tubuh yang telah dingin itu. Berjuta rasa berkecamuk menjadi satu. Aku merasa begitu sakit dan kehilangan. Kutahan air mataku untuk tidak tumpah di atas tubuh yang telah suci itu. Sesuatu terasa lepas dari nuraniku. Ada sebagian dari cintaku serasa dirampas paksa untuk pergi.

Sepanjang hari kutatap tubuh itu terus-menerus untuk terakhir kalinya. Kembali terawang di benakku akan sekian lama penderitaan yang disandangnya. Terawang dengan jelas di mataku saat cintaku itu mengerang dan menangis kesakitan. Pernah ku bertanya pada Tuhan, mengapa perempuan suci dan tulus itu harus mengalami kesakitan begitu rupa di akhir hidupnya. Aku tak mengerti hingga kini, maksud apa di balik ini semua.

Namun akhirnya aku pasrah. Hidup ini begitu banyak rahasia. Hari ini adalah sebuah kenyataan, namun esok hari adalah sebuah misteri. Kelemahan akalku tak mampu menjangkau dan mengerti semuanya. Kini kuberjalan dengan kaki yang masih sedikit pincang. Namun aku yakin, aku tetap mampu berdiri tegak. Ketulusan dan semangat pelayanan perempuan yang telah mencurahkan cintanya untukku, akan selalu menemani dan mewarnai perjalananku hingga kubertemu dengannya kembali suatu saat nanti. Entah kapan.....Seperti halnya pesan seorang pater, cinta itu ada untuk melayani yang lain.Cinta tidak akan pernah habis ketika terus-menerus ditebarkan. Dan aku percaya, cinta adalah sebuah rahasia yang fitrah ada untuk mewujudkan kemanusiaan manusia. Dan cinta perempuan itu telah mengingatkanku untuk tidak terjerumus menjadi bangsat, sebuah icon rusak yang kusadari ada kecenderunagn di dalam diriku.
Terima kasih ibu. Percayalah, karyamu dan cintamu yang telah tercurah untukku tidak akan pernah sia-sia.

Dari putrimu yang selalu mengingatmu

Jakarta, 6 Juni 2004

Episode Valentine 4

Pertama mengenalmu, ku terhenyak sesaat
Ah, ini pemuda Forkot, pikirku
Namun semakin lama mengenalmu aku kagum
Kau pemuda yang tengah tumbuh
Dan kulihat pertumbuhan itu nyata dari ekspresi dan ungkapan-ungkapanmu

Sejak lama, kunikmati hidupku dengan melihat pertumbuhan orang lain
Kubelajar dari geraknya, ya..... tumbuh
Keunikan individu-individu yang tumbuh slalu membuatku bersemangat
Dan dalam hati aku berkata, ”Yak, ini dia, aku bisa bersentuhan dengannya, dan aku warnai pertumbuhan itu, aku yang hanya setitik debu akan meniupkan angin sepoi memutar dan meliukkan banyak permata untuk bergerak, berkarya, dan membangun harapan akan sebuah dunia yang lebih baik.”
Ah......sebuah utopia
Namun kehidupan ini selalu menjadi utopia
Tak apa, karena aku yakin dengan harapan yang utopis itu membuatku merasakan menjadi manusia yang disokong oleh energi alam raya, GAIA
Ya.....GAIA itu menyentuhku melalui permata-permata yang selalu tumbuh, bahkan kala mereka tiada
Karena karya dan pemikiran itu adalah warisan yang selalu memunculkan penerus yang membuatnya tetap hidup dan tumbuh

Semoga pertemuan, perjumpaan dan kebersamaan kita dan insan lain di Pedati 20 ini mewarnai perjalanan hidupmu untuk menuju kemanusiaan

Jakarta, 14 Februari 2007

Episode Valentine 3

Sejak aku mengenalmu, kau selalu bersemangat
Binar itu terpancar kuat dari mata dan gerak tubuhmu
Kekerasan hatimu adalah benteng ketegaranmu
Kemanjaanmu adalah ekspresi kasih yang ingin kau tebarkan dan upayamu untuk merengkuh lebih banyak sahabat untuk mendekat
Kepedulianmu akan gerak kemanusiaan terus berjalan utuh

Ah, aku merasa menjadi kakak untukmu
Aku menikmatinya
Diskusi-diskusi ringan kita terkadang mengusikku untuk kemabli membuka lembaran-lembaran memori di dalam kisi-kisi benakku
Ekstasi kurasakan ketika ku dapat berbagi
Dalam imagi, dalam karya dan dalam liukan roh kemanusiaan

Smoga nilai-nilai kemanusiaan yang bersentuhan selama kebersamaan kita dan insan lain di lembaga ini mewarnai perjalanan hidupmu, untuk berkarya bagi diri, keluarga dan orang lain.

Jakarta, 14 Februari 2007

Episode Valentine 2

Pagi ini, kuteringat pertemuan dan kebersamaan kita tahun 2003 dan 2004
Kala itu, kau begitu bersemangat menggoreskan karyamu di atas papan triplek
Satu kata yang kuingat dan kurasakan, Indah

Kujuga teringat perbincangan kita pada suatu malam yang mulai beranjak larut
Pukul sebelas malam, kau kunjungi rumah di jalan Pedati 20 bersama 2 orang sahabat
Kita berbicara di teras rumah
Kau ungkapkan kegelisahanmu tentang makna hidup, gerakan dan pluarlisme
Murni, kata-kata meluncur dari mulutmu
Kusambut kegelisahan itu dengan berbagi jawaban yang berasal dari kegelisahanku juga di masa lalu
Ah.....kurasakan bahagia dan lega kala itu
Ketika kita bisa berbagi dalam alam imagi yang senantiasa bergejolak

Kawan, kunikmati kebersamaan, ketulusan dan karyamu
Bukan hanya untuk lembaga ini, kita, kawan-kawan, dan masyarakat yang melihat makna di balik goresan tanganmu, namun untuk sesuatu yang lebih besar lagi, yang tak kasat mata namun ada melingkupi kita, menunggu kita untuk mengumpulkan kekuatan itu
Hingga perubahan mulia akan terjadi
Suatu saat nanti, saat ini, atau entah kapan
Kita semua tak tahu
Hanya sang waktu yang akan berbicara
Dan yang terpenting dari itu adalah bahwa sesuatu telah kau lakukan untuk mengikuti gejolak nuranimu yang meneriakkan perdamaian dan kesetaraan dalam kehidupan ini
Semoga hal itu menjadi pengalaman indah yang nilai-nilainya akan mewarnai perjalananmu di masa datang

Aku berharap, dimanapun kau berada, nilai-nilai itu senantiasa bersemayam dalam hati dan ekspresi jiwamu
Dan kau akan jadikan dirimu sebagai penggerak perubahan, sebuah cita-cita mulia kemanusiaan, untukmu, keluargamu, temanmu dan sistem besar dunia ini
Karena kekuatan itu ada dalam dirimu


Jakarta, 14 Feburari 2007

Episode Valentine 1

Pagi ini cukup cerah setelah sekian lama diliputi mendung dan hujan
Namun tentu saja udara tak sesegar hawa pegunungan
Kuterbangun dan teringat, hari ini adalah valentine day

Aku pun teringat akan mata-mata bening yang telah sekian lama bersentuhan denganku
Dalam suka dan duka untuk sebuah cita-cita mulia
Layaknya pengembara, kuajak kalian berjalan menembus kabut, lebatnya hutan yang penuh onak, dan belantara maya alam pikiran untuk menyatukannya dengan hati
Kuajak kalian untuk berbicara dengan mata batin
Menyibak belantara imagi-imagi dan juga praksis sosial yang berserakan di sekeliling kita

Dan kamu, adalah salah satu dari mereka yang berjalan bersamaku
Kegelisahan dan ketidakpastian akan hidup mungkin pernah menghinggapimu
Dan aku bahagia karena aku pernah mewarnai sepenggal sisi dalam kehidupanmu
Semoga perjumpaan dan pertemuan kita dalam sepenggal waktu ini, bermakna
Untuk menyentuh hati kita dengan nilai-nilai luhur kehidupan
Sebuah cita-cita untuk membuat kehidupan lebih baik
Sebuah pergulatan dimana ksatria pun mungkin takut untuk mengarunginya

Jakarta, 14 Februari 2007

Sebuah Makna

Satu per satu, Tuhan menjemput orang-orang yang begitu menyayangi dan berjasa dalam hidupku
Kepergian dan kenangan yang mereka tinggalkan membuatku perih
Harum karya mereka baru tercium ketika mereka telah tiada
Aku terlambat untuk membalas dan memahami pengorbanan yang telah mereka berikan untukku
Kepergian mereka membangunkanku dari kedirian dan ketidakpedulianku di luar diriku
Kini kunikmati kebersamaan bersama keluarga, kasih dan saling melayani
Ya…..aku belajar tentang arti sebuah pelayanan sebagai salah satu pilihan hidup
Pelayanan sebagai salah satu jalan kebahagiaan dan membawa kita pada sebuah ikatan
Menyadarkan kita bahwa di antara kesendirian dalam kelana perjalanan hidup, kita ada bersama yang lain, kita tidak sendirian di dunia sebelum menjalani kesunyian di alam kubur.
Jadi….kenapa tidak dinikmati tali persaudaran dan persahabatan untuk membawa hidup terasa penuh

Granting, 01 November 2005

Krakatau

Alunan keyboard, bonang, kendang, suling dan drum, rancak berpadu membelah atmosfer Jakarta
Hening dalam takjub tergambar dari mata-mata penuh kekaguman
Hanyut kuterbawa dalam irama ethnic penuh energi
Penat yang memenuhi kepala dan tubuh seakan terurai satu persatu
Lebur dalam ria bersama karya putra-putra alam

Tepukan membahana menyambut tiap akhir kolaborasi
Gemuruhnya membangkitkan energi dalam satu
Ekstasi jiwa memecah gumpalan hitam yang memenuhi tubuh
Ya....aku bangkit

Krakatau...........
Karya besarmu malam ini membantuku tuk kembali bangun
Tuk menyambut hariku dengan penuh gairah
Semangat yang terpancar darimu membawaku tuk belajar tentang kerja keras, tak kenal lelah dan kasih..........
Untuk satu tujuan ‘sebuah kepuasan jiwa yang membuatku ada’

Jakarta, 1 September 2004

Lolos dari Maut

Lemas kuterduduk di atas sajadah
Kuucap beribu syukur pada Tuhan
Sahabat indahku masih dalam rengkuhan kasihnya, untuk dapat hidup dan berkarya lebih besar lagi bagi saudara-saudaraku yang tertindas
Namun pelor itu tetap mengancamnya setiap saat
Entah sudah berapa hari dia selalu terjaga
Cintanya pada yang tertindas,
idealismenya untuk memenuhi panggilan nurani begitu kuat
Dia memilih bersama rakyat yang malang dan mencekam di bawah ancaman bedhil sang penguasa
Sebuah praksis tanpa banyak kata
Mungkin dia, kawan-kawan seperjuangannya dan para petani tertindas itulah yang akan mendidik para penguasa dan intelektual bangsa ini, Yang sering lupa untuk menjalankan mandat rakyat dan kewajiban moralnya

Jakarta, 24 Juli 2003

Pulau Sarok dan Savana

Kutatap hempasan ombak nan lembut di sepanjang pantai
berkelok pulau Sarok. Pasir putih terhampar indah di
tepian pantai yang kembali perawan. Sepi, sunyi, namun
menyiratkan kedamaian abadi. Mentari berwarna jingga
dan kemerahan beranjak tenggelam di ufuk barat.
Tuhan.....betapa indah alam yang kau cipta.

Kududuk di dermaga tua bersama seorang sahabat. Kami
diam menyaksikan keajaiban alam. Ruh ini bagai meronta
tuk terbang bebas, tuk turut menikmati rahmad ilahi.
Jiwa ini bagai menyatu dengan alam. Sebuah ekstasi
jiwa tak terkatakan. Lepas......pasrah dalam buaian
nikmat kasih alam.

Kulangkahkan kakiku meninggalkan dermaga tua penuh
kenangan surgawi. Maghrib telah tiba. Suara adzan
sayup-sayup terdengar dari kejauhan.

Tiba-tiba rasa perih menyeruak. Sepanjang perjalanan
pulang, di kanan-kiriku terasa senyap. Hutan tropis
yang dulu sangat lebat telah berubah menjadi savana.
Tanaman alang-alang dan Callotropis gigantea telah
merampas tumbuhan lokal yang begitu berharga. Ulah
para penguasa dan baju loreng bersenjata AK telah
membabat hutan dan merusak harmoni alam dengan pantai
yang begitu indah. Wajah sendu rumah-rumah panggung
khas Serambi Mekah nampak dari kelamnya warna papan
kayu rumah mereka. Seakan menyiratkan kesedihan dan
kegelisahan. Apalagi yang akan terjadi pada mereka?
Aku tak tahu. Jangkauan otakku terlalu kecil untuk
dapat menjawab semua pertanyan-pertanyaan itu.

Laju mobil begitu kencang. Kini kuditemani bulan dan
bintang. Indah terasa di antara savana, namun aku tahu
ada sejuta derita di sana. Tiba-tiba mobil berjalan
pelan. Kubuka kaca jendela dan kulongokkan kepalaku ke
luar. Oh.....kini kami melewati pos tentara. Kami
harus berjalan pelan, berhenti untuk melapor. Hatiku
sempat berdetak kencang. Belum pernah aku rasakan
sweeping oleh laki-laki berambut cepak dan suara
berat. Ah....sang sopir begitu lihai bermain kata.
Kami pun lolos tanpa ada yang turun satupun. Wajahku
yang memerah diterpa matahari dan jilbab Acehku
berhasil menyembunyikan identitasku sebagai orang
asing di bumi Serambi Mekah.

Mobil kembali melaju kencang. Kami sendirian, jarang
sekali berpapasan dengan pengendara lainnya. Mungkin
karena hari telah mulai malam. Seerrrtttt......darahku
kembali mengalir ke ubun-ubun kepalaku. Di depan sana
kusaksikan beberapa orang berbaju loreng dengan
senjata AK terselempang di pundak dan digenggam erat
di tangan. Serasa siap tembak.............Tapi kata
sahabat baruku, pemandangan itu telah terjadi setiap
hari. Tidak apa-apa, aman.......

Hmmm......Aceh.......sejuta kenangan darimu telah
mengisi kisi-kisi kalbuku yang takkan terlupakan.


Pulau Sarok, Singkil 26 Februari 2004

Sahabatku dan Hujan Peluru

Tubuhku bergetar menerima beruntun SMS dari sahabat indahku
Ku tak sanggup berkata-kata mendengar permata yang penuh semangat tertembak peluru penguasa
Kubayangkan orang-orang berbaju coklat dan loreng itu memblokade desa yang begitu tenang namun menyimpan semangat perjuangan
Kubayangkan tubuh-tubuh tua, kecil, rapuh dan sahabat indahku berlari di antara hujan peluru dan intaian mata-mata bengis haus darah
Kutahu kepedihan dan kesakitannya

Terngiang di telingaku perkataan perpisahan kami dulu,"Tuti, aku telah memilih jalan hidupku untuk gerakan rakyat."
Menetes air mataku mengingatnya
Namun kumasih gembira ketika nyawanya tidak diambil oleh kekasih abadinya
Dia selamat...alhammdulillah

Jakarta, 23 Juli 2003

Aku Asyik dengan Duniaku

Aku asyik dengan duniaku
Kerja demi kerja kulakukan dengan semangat
Pergulatan mencari makna hidup terus bergelora
Tiada hari tanpa pertanyaan yang selalu berputar di kepalaku
Untuk apa aku hidup?

Aku asyik dengan duniaku
Kunikmati indahnya mentari pagi
Kunikmati sunyi malam dan gairah subuh
Kusambut tiap hariku dengan kata ‘ya…aku hidup’

Aku asyik dengan duniaku
Setiap saat aku berkhayal
Di lain waktu aku mengekspresikan khayalanku
Kusibak dedaunan berserak
Kucari permata, intan, emas, berlian di antara belukar dunia
Kubercengkerama dengan imagi-imagi dan pergolakan dunia yang tak pernah henti
Kadang aku tertawa, kecewa, sedih, bahagia
Dan tak jarang kumelesat bagai anak panah tuk penuhi gelora asa

Aku asyik dengan duniaku
Berlembar-lembar buku, dialog nurani, nafsu jiwa dan renda kata dari yang lain mewarnai laju langkahku
Semuanya membangun nilai yang menjadi lentera yang menemani perjalananku
Tiap saat kubuka mata, dunia selalu berubah
Indah, penuh kejutan sekaligus membuatku kaya

Aku asyik dengan duniaku
Dunia Ornop telah menyita sebagian besar waktuku
Dunia imagi yang masih miskin praksis
Dunia imagi penuh manusia yang kadangkala tidak menapak bumi
Dunia imagi yang dibungkus kain putih yang kadangkala terkesan suci
Namun kuyakin ada permata walau setitik

Aku asyik dengan duniaku
Kadangkala kubenturkan khayalku dengan fakta kehidupan
Petani miskin, manula, tukang bajaj, kelahiran, kekerasan, penindasan, kedengkian, mayat-mayat hidup tanpa nurani, gempita sorak anak-anak metropolitan, kematian, tatapan kasih ibuku, kesederhanaan desa……………
Warna-warninya membuatku tercenung
Dan aku tetaplah setitik debu yang haus akan jawaban-jawaban
Setitik debu yang merindukan kasih kehidupan yang illahiah

Aku asyik dengan duniaku
Dunia yang membawa hidupku penuh warna dan tak takut untuk bertanya

Granting, 12 Juli 2004

Evolusi

Hamparan sawah hijau membentang di depan mata

Semilir angin menghembuskan udara desa yang segar

Sesekali terdengar suara burung di pucuk pohon kepundung di samping rumah

Begitu lengang, damai dan sederhana


Lima belas tahun sudah kutinggalkan desa ini

Semua sudut hampir tak berubah

Seluruh warga desa telah bangkit

Kemiskinan tak lagi melilit seperti masa lalu

Ketika kami harus menanam tebu tanpa imbalan layak

Ketika kami harus menjadi buruh di lahan sendiri

Ketika kami harus mengais hasil bumi dari kebun untuk sekedar bisa makan 3 kali sehari

Ketika kami harus menjemur gaplek untuk persiapan paceklik

Ketika kami harus berlomba dengan hujan untuk menjemur sampah daun bahan bakar membuat gula merah

Ketika Bapak harus memanjat 13 pohon kelapa tiap subuh dan maghrib untuk memperoleh air nira

Ketika ibu dan bibiku harus menjadi buruh penumbuk padi untuk 3 cangkir beras tumbuk

Ketika aku, kakak dan bapakku harus memancing ikan di sawah di bawah terik matahari dan nyuluh ikan di sepanjang parit sawah ketika malam tiba, untuk memperoleh cukup lauk yang bergizi

Ketika kami harus berjalan tanpa alas kaki ke pasar Ngagrong, melintasi lautan pasir muntahan Merapi, membawa tikar hasil anyaman ibu, dan pulang membawa sekantong kerupuk dan cethithet

Ketika aku selalu berjalan di belakang ibu, tanpa alas kaki, baju sederhana yang sedikit lusuh, memegangi kain ibuku yang berparas jelita dan penuh perjuangan hidup

Ketika aku begitu bahagia menikmati alam, bermain layangan di jalan berumput tebal, naik kerbau di senja hari, mengais ikan di sungai kering kala kemarau tiba, menembus kabut tebal di pagi hari dalam perjalanan ke sekolah, menunggu lebaran dengan baju baru hasil jahitan ibuku


Ah……..semuanya begitu sederhana, bergulir setapak demi setapak, melintasi waktu

Evolusi kehidupan pun berjalan

Dan kini kuhidup di sebuah dunia maya bagi banyak orang, namun nyata bagi sebuah sistem besar yang menindas

Sebuah dunia ide, filsafati dan mimpi, yang kucoba terjemahkan untuk membuatnya terjamah dan menyentuh kehidupan duniawi untuk alasan surgawi dalam keduniaan dan setelah kematian menjemput


Granting, 1 November 2005

Rabu, 24 September 2008

HARU

Bergantian wajah-wajahmu menghiasi lamunanku
Ungkapan rindu nan ceria mengalir melalui teleponku
Lelah raga dan jiwa ini terobati sudah

Tapak kaki dan gelisahku kau sambut penuh arti
Senyumanku kau balas dengan madu
Betapa bahagia diriku menerima semua ini Puji syukur terucap dari bibirku yang gemetar
Kutersenyum dalam haru

Ah…..ternyata masih banyak permata-permata yang dengan tulus menebarkan kasih
Sebuah kasih yang melintas batas identitas, namun justru dengan kasih ini identitas-identitas muncul begitu anggun, tanpa harus dikumandangkan kepada khalayak
Sebuah kasih yang meluluhkan ke-aku-an
Sebuah bukti, bahwa apa yang diperbuat bukan untuk dilihat oleh dunia, namun untuk mempengaruhi dunia, walaupun dunia itu sebatas keluarga sekalipun

Aku bangga, dalam rentang hidupku, aku sempat mengenal permata-permata langka di tengah kepongahan dunia
Aku bangga pernah berdialog dengan mereka dalam kasih
Tak ragu aku berkata, sebuah kekuatan putih yang dahsyat dapat lahir dari gerakan permata-permata di jalan Pedati, yang energinya akan merembes tuk menebarkan hawa kemanusiaan, semangat hidup, kerja keras dan kasih putih
Terima kasih teman
Telah kau torehkan mosaik indah dalam perjalanan hidupku yang singkat ini
Semoga apa yang kita lakukan, bermakna

Jakarta, 25 Februari 2005

MENUJU ASA

Dunia seakan memancarkan energinya tuk mendukungku
Rintangan seakan sebuah kesempatanku untuk menjadi lebih dan lebih lagi
Semakin ringan langkahku menuju asa
Semakin terbuka pintu-pintu pilihan setelah sekian lama kubersimbah air mata tuk mencari diri
Ekspresi demi ekspresi identitas kemanusiaanku melalui kerja, karya, kasih alam, mengalir bagai cucuran air terjun Cigundul yang penuh kekuatan
Kekuatan dalam kepasrahan dan gairah hidup yang menyala indah

Sejenak kuteringat sahabat indahku di Bulukumba
"Rasakan energi itu memenuhi tubuh kita, jagalah dia karena seringkali pikiran itu pergi tak terjaga"
Teringat pula sahabat indahku di bumi Buitenzorg
"Bila kau kehilangan matahari, ada bintang kecil yang selalu menunggumu"
Sobat, terima kasih....kehadiranmu telah mendukungku, tuk berjuang dengan diri menghadirkan roh di tengah savana kerontang bumi Jakarta

Jakarta, 29 Juni 2004

TUBUH

Ringan kutarik nafas, kehembuskan sepenuh jiwa dalam kepasrahan
Kupusatkan pikiranku pada paru-paru, jantung dan pembuluh-pembuluh darah yang mengalir deras namun lembut di sekujur tubuhku
Sambil terpejam, kurasakan hangat mengalir di sekujur tubuh
Kosong…..ringan……dan pasrah pada gerak ilahiah

Gerak ilahiah itu sering kulupakan
Gejolak pikiran dan nafsu jiwa membuatku melupakan tubuh
Ia seakan begitu asing bagiku
Tak jarang ku mengumpat, mengeluh dan merajuk ketika tubuh terasa sakit
Tanpa sadar, tubuh telah menjadi korban

Tubuh, alangkah kejam aku pada dirimu
Ingin kutebarkan kasih pada banyak tubuh dan jiwa manusia lain
Namun sering kulupakan dan kusakiti tubuhku sendiri
Karunia ilahi yang begitu mulia dan indah ini seakan kucampakkan begitu saja, kuracuni dengan makanan yang merusak, kuhirup udara yang korosif, kusalahkan dia ketika sakit, kueksploitasi dia ketika jiwaku terpuruk………….
Betapa bodoh diriku

Apalah artinya aku tanpa tubuh?
Siapakah aku tanpa tubuh?
Mampukah aku berkarya tanpa tubuh?
Bagaimana aku bisa mengekspresikan beribu imagiku tanpa tubuh
Aku ternyata sangat bergantung pada tubuh indah ini
Tubuh yang tanpa sadar telah kuanaktirikan

Tubuh……
Sakitmu telah menyadarkan pikiran dan nafsu liar yang penuh kekerasan padamu Sakitmu mengingatkan pikiran dan nafsu untuk berjalan seirama denganmu
Sakitmu adalah teguran dari Sang Suci akan kedirian pikiran dan nafsu
Tak pantas kumengeluh sakit apalagi mengumpat
Karena aku telah mencampakkanmu

Tubuh….
Mulai kini kau adalah aku
Aku adalah tubuh, pikiran, nafsu dan energi suci yang membuat hidup
Kita tak terpisahkan dalam jalinan kesalingbergantungan, sampai ajal melepaskannya
Ingin kucintai semua penyusun ‘Aku’
Dan ingin kutebarkan pula cinta pada semua penyusun ‘Mereka’
Hingga jalinan kesalingbergantungan itu ada dalam ‘kita’
Yang akan mewarnai evolusi maupun revolusi suci dalam keduniaan yang ilahiah

Tubuh………. Adalah mahakarya dan citra ilahi

Jakarta, 25 Juli 2004

CELOTEH DI SIANG BOLONG

Tiang-tiang kebenaran itu begitu kokoh, tinggi dan angkuh
Begitu kokohnya hingga terkesan seram
Siapakah pemberani yang berani menghampirinya?
Orang gilakah?
Mungkin

Kebenaran bagaikan barang suci yang tak tersentuh
Kebenaran hanya untuk orang-orang yang katanya ‘suci’
Kebenaran bukanlah untuk pelacur, pendosa, pedangdut erotis atau anak nakal yang rajin bertanya
Kebenaran hanya untuk orang-orang bertopeng emas

Lalu siapa sebenarnya pemilik dan pengemban kebenaran?
Barangkali pemiliknya adalah Tuhan kalau orang percaya pada imagi Tuhan

Namun manusia-manusia bertopeng itu telah mengambil alih kebijaksanaan Tuhan
Merekakah wakil Tuhan?
Atau mereka telah berani menganggap diri Tuhan dengan menyebut kalimat-kalimatnya
Aneh…kok ada Tuhan manusia berkepala hitam, putih, coklat atau keriting

Dan kebenaran tidak menyapaku walaupun aku sudah berusaha menceburkan diri dengannya
Aku bukan kategori pelacur atau icon rusak lainnya yang telah dihakimi peradaban mayoritas
Lalu kenapa aku ini, yang selalu dipandang salah, bodoh atau menuju kekafiran?
Atau mungkin di luar kesadaranku aku termasuk dalam icon rusak
Aku tidak tahu

Wah…..mengerikan

Setelah aku bertanya nakal, ternyata kebenaran itu relatif, tergantung kaca mata
Ini lebih membingungkan
Atau seperti kata orang-orang bahwa kebenaran dan rasionalitas itu musti dibenturkan
Atau seperti kata penentangnya bahwa kebenaran itu tidak perlu dibentur-benturkan
Hingga yang ada adalah pluralisme sebagai kenyataan

Ah…semuanya juga pendapat saja, siapapun boleh bicara
Termasuk mbah Wagirin, pakde Lasio atau mbokde Sainah
Tidak hanya yang bernama mentereng macam Descartes atau Illich

Lalu gimana? Bingung to?
Memang, mungkin abad ini adalah abad bingung
Abad olok-olok, bagai sebuah permainan kehidupan materi maupun pikiran
Jadi ya…ayolah saling berolok tapi penuh kasih dan persahabatan
Mungkin dari situ kita akan menemukan kebenaran yang sebenarnya

Jakarta, 2 Juni 2003

BELANTARA -ISME

Kembali kubertanya tentang dunia ideal impian para aktivis
Bermacam –isme terhampar luas bagai hutan belantara
Sepak terjang atas nama -isme mewarnai percaturan anak-anak negeri ini

Kutapakkan kakiku yang gelisah di antara rimbunan belukar
Sesekali kulongokkan kepalaku tuk menangkap kesejatian
Kucoba terbang tuk melihat mosaik belantara -isme dan klaim kebenaran
Berkali kutermenung Berbagai paradoks mewarnai tingkah polah manusia atas nama –ism
Purifikasi diri dilakukan dengan memperolok orang lain sesama aktivis
Makna sinergi hanyalah utopia yang menghiasi bibir-bibir yang tak henti bergerak
Egois tanpa disadari telah melingkupi perjuangan atas nama rakyat

Pletak……Sebuah ketapel menghantam kepalaku
Kuturunkan sayapku dan kutarik napas dalam
Seakan kudiingatkan oleh energi suci
Tuk menghentikan penghakimanku atas mereka
Tuk kembali melihat penghakimanku atas aku
Kembali kutarik napas dalam
Kuputuskan tuk berhenti sejenak dalam kata ‘memang sulit untuk menjadi organis dalam sebuah gerakan’

Jakarta, 10 Desember 2003, 24:00 WIB

DERU DEBU-DEBU

Aku adalah setitik debu di tengah alam raya ini
Angin akan menerbangkanku mengikuti arah perjalananku yang tiada berujung
Apalah artinya debu itu bagi dunia?

Debu itu akan menempel tak tentu
Namun debu itu bisa berkumpul menjadi satu dan bersama angin, ia bisa meniupkan taufan yang mengerikan.
Ia bisa memporak - porandakan kemegahan dan kepongahan dunia.

Debu tidak boleh sendirian karena dia akan selalu dibersihkan dan dipandang sebagai kotoran.
Debu harus menghimpun energi dari segala penjuru sumber
Debu harus mampu menggerakkan energi dari segala penjuru sumber
Debu harus mampu bekerjasama dengan angin untuk satu
Debu harus mampu menghimpun semangat dan kekuatan putih dalam damai
Deru satu dalam debu-debu akan mengoyak dunia yang menindas dan menuju kehancuran
Deru satu dalam debu-debu akan membalik peradaban dalam damai bersama ketenangan alam yang tunduk satu pada ‘kasih’.

Taman Cilaki Bandung, 24 Februari 2003

GELORA ABADI

Hidup digerakkan oleh mimpi
Karenanya perjalanan menjadi penuh gairah
Karenanya hidup menjadi bermakna

Setiap perjumpaan dan pertemuan seringkali menginspirasi
Tuk memperkaya rasa dan mempertajam mimpi
Seringkali sederhana namun dalam

Mimpi-mimpi itu semakin mengembang
Tak pernah habis ditelan zaman
Kreasi cerdas selalu muncul
Penuh energi kerinduan akan makna hidup dan kebenaran abadi

Lentera abadi menerangi perjalanan
Petunjuk suci melalui sinyal-sinyal ilahiah
Keikhlasan dan pasrah menjadi pagar keabadian
Tuk mengawal gelora yang terus menyala liar

Tertunduk dalam sujud
Kokoh berdiri menatap bintang-bintang
Nun jauh di sana, harapan terus melambai
Tapak langkah penuh keyakinan menyusuri monumen-monumen karya diri
Tuk gapai bintang, tuk gapai mimpi, tebarkan kasih dan gelora kepada yang lain
Diri terinspirasi untuk menjadi inspirasi bagi yang lain

Jakarta, 14 May 2005

GAIA MENEMBUS

Dingin udara subuh menyergap raga
Kubuka jendela lebar-lebar
Keremangan pagi dan cahaya jingga di ufuk timur perlahan menerang
Burung-burung kecil begitu riang bercanda di atas atap
Kicaunya melengkapi keindahan yang akan terulang esok hari
Sejenak, kunikmati maha karya alam
Begitu tenang dan menyejukkan

Sejenak, kulupakan kepenatan kerja dan hidup
Kulupakan mimpi-mimpi yang selama ini selalu mengusik
Kulupakan juga dosa-dosa yang menggelayut di sekujur tubuh
Jiwa yang tenang dan merasakan kehadiranku secara sadar di dalam gaia

Alangkah nikmat anugrah subuh yang tak tiap hari kutemui
Kurasakan diriku menyatu dalam gaia
Energi-energi itu menembus ruang-ruang dalam pori-pori kulit, otot, pembuluh darah, kepala, mengalir serentak ke sekujur tubuh dan memunculkan sebuah sensasi keindahan
Inikah energi surgawi dalam keduniaan itu?
Kuserap kekuatan itu dalam ketenangan, sederhana dan pasrah
Pelan namun mengalir dalam kekuatan yang melegakan
Kesejukan yang luar biasa indah berlangsung beberapa saat lamanya
Hingga terang merangkak ke atas, diiringi birunya langit, kabut tipis dan berhentinya kicau burung di antara ranting pohon sukun

Jakarta, 5 Januari 2006

BULUKUMBA MENGUSIK

Kuterpana melihat wajah tenang namun penuh energi dan keyakinan
Sebuah gelora bak kawah merapi dibalut dalam kesederhanaan
Jujur aku cemburu melihatnya
Gelora itu pernah aku rasakan sebelumnya, tumbuh dan bersemayam dalam diriku
Namun kini, kalbuku begitu kerontang.
Hanya kegelisahan tanpa greget yang ada padaku.

Bulukumba mengusikku tuk kembali melihat perjalanan hidupku, kesejatian hidup dan sejumlah pertanyaan lain tentang dunia.
Lorong-lorong kampung, tanah becek, rumah-rumah panggung beratap kajang, mata-mata bening penuh kesederhanaan, dan…mutiara itu…..membuatku tertunduk dalam diam.

Kutersadar dalam ketidakberdayaan.
Namun secercah cahaya selalu hadir di lubuk hati.
Sekecil apapun yang kulakukan semoga bermanfaat dan bukan maksiat.
Aku tahu, aku bukan siapa-siapa.
Aku hanya setitik debu yang punya mimpi untuk memahami dunia.
Dan kuingin mencari mimpi itu dalam diriku

Bulukumba, 21 Juni 2003

ROH ITU BELUM HADIR

Hari-hari kutapaki dengan penuh semangat
Ingin selalu kujaga energi itu untuk menjadikan diriku manusia yang sadar
Kuberhasil mendepak setiap kemalasan yang seringkali muncul
Ya….aku berhasil melakukannya

Namun, bara semangat itu masih terasa kosong
Kumasih bingung, apa yang sebenarnya ingin kurengkuh?
Sebuah energi gerakankah, pembebasankah ataukah energi untuk menemukan tujuan hidup itu sendiri?
Kutak tahu

Kuingin terus mencari dan mencari
Di setiap celah yang memungkinkanku untuk mengembara, mereguk makna dan madu kehidupan
Kulongokkan kepalaku ke dalam pusaran demi pusaran kehidupan
Semuanya memperkaya jiwa dan pikiranku sekaligus membuatku semakin banyak bertanya
Namun ada satu pusaran yang selalu membuatku melayang penuh gairah
Relawan…ya…ketika aku bertemu dengan orang-orang yang berubah bersama dalam kehadiranku Indah….hanya itu yang dapat kukatakan
Energi itu bagai menari-nari di sekeliling kami, menarikku tuk hanyut dalam pesonanya
Inikah citra Sang Suci yang akan menuntun perjalanan hidupku sampai akhir hayat?
Sekali lagi ku tak tahu

Aku tak akan pernah menyerah untuk terus mencarinya, menemukan pusaran kehidupanku melalui sinyal-sinyal kasih Sang Suci yang selalu tertumpah untukku dalam berbagai wujud
Wahai Cahaya….kusambut setiap taburan kasih dan pelajaranmu dengan penuh keikhlasan
Setiap hari adalah kabar gembira dari-Mu untukku dan dunia
Kupercaya, rengkuhanmu akan menghadirkan Roh yang belum melingkupiku saat ini

Jakarta, Kamis, 2 Oktober 2003

KUTEMUKAN KEMBALI MATAHARI

Kulihat sejuta permata di bumi Parahyangan
Matahari yang sebelumnya meredup kembali bersinar
Bukan hanya bintang kecil yang menungguku kawan, namun begitu besar bintang itu.

Kurasakan ekstasi jiwa dan deru semangat untuk beberapa saat lamanya.
Peluk cium mereka, celoteh mereka dan kegelisahan mereka membuatku kembali hidup dan penuh semangat
Betapa indah......

Kutemukan banyak kasih yang begitu tulus di sana
Semangat dan aksi mereka bagaikan energi yang menari-nari mengelilingi gerak tubuh yang tak henti berkarya
Jalinan energi itu begitu murni dan muda
Aku bahagia karena aku berada di dalam lingkaran energi itu dan aku turut membangunnya di masa lalu dengan air mata dan darah
Kawan, deru debu-debu itu mulai nyata
Dia akan tetap menderu seiring kecongkakan zaman
Namun dia juga bisa mati seiring matinya sebuah nurani

Cilaki, 25 April 2004

KESEJUKAN SEBUAH SORE

Kabut turun dari lereng merapi
Sawah di kejauhan perlahan berubah menjadi putih
Perlahan kabut berganti menjadi hujan rintik dan menderas
Pelataran belakang rumah yang begitu bersih di antara pohon rambutan, manggis, kepundung, nangka dan kelapa begitu damai disiram air hujan
Suara hujan dari atas genteng dan bau harum tanah mengingatkanku kala masa kecil
Begitu damai tanpa jerit kemiskinan seperti dulu
Ketika kami masih berada di dalam gubuk reot hasil karya anyaman bambu bapakku
Dan lantai tanah yang menghitam keras karena berpuluh tahun diinjak oleh kaki-kaki tak beralas.

Kuedarkan pandangan menyapu dapur ala desa yang luas dan amat bersih.
Tungku gerabah, pogo tempat menaruh kayu bakar, lincak tempat mempersiapkan makanan dan kadangkala untuk tiduran, dan sebuah kompor gas lambang modernitas
Sebuah baskom berisi kain lap berada di tengah lantai dapur
Air menetes dari atap, ternyata dapur ibuku masih bocor
Pasti karena buah durian yang jatuh menimpa genteng atau gentengnya melorot karena angin pegunungan yang begitu kencang

Kulanjutkan pikiranku mengembara dalam damai
Dalam pasrah menikmati maha karya alam yang begitu luar biasa sore ini
Sambil bersandar di pintu dapur, kumerasakan kebebasan, tanpa beban
Begitu ringan dan amat mewah di tengah kesibukan dan gejolak mimpi yang tak mengijinkanku untuk berhenti walau sejenak
Oh Tuhan…..Kau tetap berikan cinta dan rasa bahagia ini pada diriku yang pendosa
Cintamu sunguh tak bersyarat
Puji syukur dan sembah sujud kuhaturkan untukmu yang tak henti memberiku rahmat dan kebahagiaan
Kesusahan dan kesulitan masa lalu yang kujalani dalam kepasrahan dan perjuangan telah Kau tukar dengan banyak kebahagiaan yang berlimpah

Ibu……aku bisa menatap mata dan wajah jelitamu dalam kebebasan
Kurasakan himpitan derita yang kau alami sejak kecil perlahan berkurang
Wajah jelitamu dalam keriput kini mulai cerah
Untuk menatap matahari dan kepasrahan dalam rengkuh ilahi

Granting, 1 November 2005

MELINTAS BATAS RUANG

Kususuri sebagian kecil belantara Jakarta untuk memperdagangkan sebuah ide
Kutemui ruang-ruang yang penuh dengan aneka pemikiran
Ada yang asal berpendapat, ada juga yang begitu keras pada keyakinannya
Semuanya membentuk ruang tersendiri yang kadangkala diwadahi dalam ruang fisik tumpang tindih

Kukulum senyum dan kunikmati gesekan antar ruang pemikiran yang membuatku dinamis
Kadangkala aku lelah menyusuri aneka ruang itu
Namun kebodohan dan keingintahuanku membawaku mencebur lebih jauh
Kucoba menarik diri dari peta aneka ruang itu
Klaim kebenaran ada di mana-mana
Seringkali diikuti oleh polah angkuh dan congkak dengan menghujat pandangan ruang lain atau lebih parah lagi pada individunya
Ah…..untuk ke sekian kalinya aku kecewa
Ternyata ruang-ruang komunitas maupun individu yang katanya pembawa warna wajah kebudayaan adi luhung pun menyimpan kedengkian
Sebuah kekerasan gesekan antar pemikiran begitu jelas melintas batas ruang
Sepertinya, semakin tahu lebih banyak, semakin tinggi dinding yang diciptakan untuk bisa sekedar berbagi dengan ikhlas dengan yang lain
Sebuah kecongkakan muncul sebagai perwujudan krisis identitas yang tak disadari

Kembali kukulum senyum, termasuk senyum untuk diriku sendiri
Hujatan dan sindiran sinis kerap kali mampir di telingaku
Kucoba ikhlas menerimanya
Semakin aku disudutkan dan dipandang kecil semakin aku menjadi kuat dan percaya diri
Kucoba pula serap kecerdasan para dewa yang kadang merasa telah berbuat banyak dan paling benar Sekali lagi aku tersenyum untuk diriku
Ah…..seringkali akupun bertingkah seperti mereka

Tiba-tiba kuingat ayahku
Dengan sindiran sinislah ia mendidikku untuk menjadi bebas
Sekarang kutuai pelajaran yang tak pernah ia ungkapkan maksudnya
Mungkin dia juga tidak sadar, kalau caranya itu sebenarnya mempersiapkanku menghadapi dunia nyata

Kebenaran, sebuah rahasia yang tak kumengerti
Kebenaran bagiku adalah ungkapan cinta kasih
Kebenaran bagiku adalah pengorbanan dan kerelaan untuk berbagi dengan yang lain
Kebenaran bagiku adalah suara nurani dalam bisikan kasih abadi dari Sang Suci
Dan kini, kuputuskan untuk mencoba melintas batas ruang tuk melihat berbagai klaim kebenaran
Tuk mencari dan menikmati kebenaran hakiki yang ilahiah
Aku percaya, kebenaran akan miskin makna ketika hanya dalam dialektika pikiran
Kebenaran haruslah dibawa dalam praksis untuk menguji kesuciannya
Dia ada karena dia adalah pesona rahasia

Jakarta, 5 Oktober 2004

PARLIAMENT BUILDING

Warna-warni lilin menerangi malam di tengah hamparan salju putih
Parliament building, gedung tua nan cantik itu terasa ramah menyambut kelahiran Yesus
Silih berganti, bendera-bendera negara bagian menerangi menara dan tembok bertekstur
Ajakan perdamaian dan persaudaraan terus menggema
Serentak, lampu menyala mengelilingi pohon-pohon maple dan pinus di seluruh penjuru kota
Semua tunduk dan larut dalam syahdu
Kesunyianpun pecah seiring nyala lampu di menara gedung tua itu
Pertanda natal telah menjelang
Salju makin lebat turun
Semilir angin dingin kutub utara dan rintik salju bak kapas mengantarku pulang menuju mimpi

Ottawa, 22 Desember 2004

STRUGGLING TO SURRENDER

Perjalananku mencari terang dan kedamaian begitu panjang dan menyakitkan. Sejuk hatiku ketika kutatap wajah Maria dan dinginnya lantai gereja ketika aku kanak-kanak. Kasih....ya...aku merasakan kasih. Di depan altar kubersujud mencari Tuhan, kekasih mayaku yang jarang sekali aku rasakan kehadirannya. Namun aku tersandung. Kenyataan lain membawaku menjadi seorang muslim tanpa kusadari. Diriku bagai dicuci otak untuk menjalani semua ritual seakan aku ini sebuah robot mungil. Aku selalu bertanya, kenapa tuhan manusia berbeda-beda ? Ketakutan akan neraka dan kekecewaanku akan bayangan surga membawaku pada kegelisahan yang luar biasa. Aku bagai bukan manusia karena aku tidak punya arti. Buku dan pengajian yang aku ikuti membuat aku semakin dihakimi dan merasa bagai seorang kafir. Aku kafir Tuhan....karena aku tidak bisa menerima seruan-Mu yang disampaikan oleh para ustad dan buku-buku itu!!

Mulailah aku berdialog dengan diriku sendiri bagai orang gila, bicara sendiri, menangis, tertawa, marah dan mengumpat. Aku bagai merpati gila tiada pegangan. Buku-buku merah mulai aku sentuh di bangku SMA. Pram, de Mello, Qibran, sampai suatu ketika aku temukan Ahmad Wahib. Hatiku lega berdialog dengan tulisan-tulisan itu. Wahib menyadarkanku kalau aku bukan gila. Dia adalah sahabat virtualku yang mampu membuat titik balik dalam kehidupanku. Dari de Mello aku pahami arti perjumpaan dan pertemuan, aku pahami arti cinta, ikhlas, munafik, dan pilihan hidup.

Lamunan demi lamunan semakin menggila setelah pertemuanku dengan Freud, Freire, Capra, Redfield, Hasan Raid, salman rusdi, Cabral, anand krishna. Dialog nuraniku dan otakku dengan karya mereka sempat membawaku menjadi seorang ateis untuk beberapa waktu. Aku bagai terbang bebas di atas awan-awan putih, aku menyatu dengan gumpalan-gumpalan yang mampu menenggelamkan kepak sayap putihku yang gelisah. Tapi akhirnya aku jatuh menjadi banyak kepribadian, aku tidak lagi utuh, aku merasa tidak punya identitas akan diri, aku hancur tanpa energi kasih di kalbuku. Aku patah seperti Sybill. Namun akhirnya sebuah cahaya yang membuatku tunduk untuk bersujud datang bagai mencabut ruhku, membawaku terbang dalam ketiadaan...kosong....ringan.....aku tahu...aku tahu...itu adalah cahaya kasih dari Sang Suci yang tak pernah dapat diindera makhluk namun hanya dapat dirasakan kehadirannya. Citranya ada di mana-mana. Ia tebarkan kasih melalui kebahagiaan dan juga derita untuk memanggil kekasih-kekasihnya yang lemah namun penuh kesombongan. Aku pasrah dan sujud dalam cahaya kasihnya. Aku percaya yang tidak bisa kujelaskan dengan kata-kata untuk membuatnya menjadi rasional.

Jefrey Lang, titik balik kedua dalam kehidupanku membawaku untuk mengkaji lebih jauh. Dan cahaya indah itu menggerakkan tangan dan jiwaku untuk membuka Buchori. Dia membawaku berkenalan dengan rasul dan kitab yang telah sekian lama aku sanggah dan kadang aku umpat.

Aku pasrah dalam kesadaran. Kebodohan dan kelemahan akalku membawaku pada sebuah pengalaman rasa. Aku begitu lemah, jangkauan akalku begitu sempit untuk mengungkap rahasia dunia, aku hanya bisa merasakan dan berkata......hi cahaya......sirami aku dengan hawa sejukmu, temani aku dalam kegelisahan, sapalah aku untuk selalu terjaga dan doronglah aku untuk melakukan! Kau adalah Sang Aku yang selalu kurindukan.

Bandung, 8 Januari 2003