Selasa, 25 November 2008

Pulau Sarok dan Savana

Kutatap hempasan ombak nan lembut di sepanjang pantai
berkelok pulau Sarok. Pasir putih terhampar indah di
tepian pantai yang kembali perawan. Sepi, sunyi, namun
menyiratkan kedamaian abadi. Mentari berwarna jingga
dan kemerahan beranjak tenggelam di ufuk barat.
Tuhan.....betapa indah alam yang kau cipta.

Kududuk di dermaga tua bersama seorang sahabat. Kami
diam menyaksikan keajaiban alam. Ruh ini bagai meronta
tuk terbang bebas, tuk turut menikmati rahmad ilahi.
Jiwa ini bagai menyatu dengan alam. Sebuah ekstasi
jiwa tak terkatakan. Lepas......pasrah dalam buaian
nikmat kasih alam.

Kulangkahkan kakiku meninggalkan dermaga tua penuh
kenangan surgawi. Maghrib telah tiba. Suara adzan
sayup-sayup terdengar dari kejauhan.

Tiba-tiba rasa perih menyeruak. Sepanjang perjalanan
pulang, di kanan-kiriku terasa senyap. Hutan tropis
yang dulu sangat lebat telah berubah menjadi savana.
Tanaman alang-alang dan Callotropis gigantea telah
merampas tumbuhan lokal yang begitu berharga. Ulah
para penguasa dan baju loreng bersenjata AK telah
membabat hutan dan merusak harmoni alam dengan pantai
yang begitu indah. Wajah sendu rumah-rumah panggung
khas Serambi Mekah nampak dari kelamnya warna papan
kayu rumah mereka. Seakan menyiratkan kesedihan dan
kegelisahan. Apalagi yang akan terjadi pada mereka?
Aku tak tahu. Jangkauan otakku terlalu kecil untuk
dapat menjawab semua pertanyan-pertanyaan itu.

Laju mobil begitu kencang. Kini kuditemani bulan dan
bintang. Indah terasa di antara savana, namun aku tahu
ada sejuta derita di sana. Tiba-tiba mobil berjalan
pelan. Kubuka kaca jendela dan kulongokkan kepalaku ke
luar. Oh.....kini kami melewati pos tentara. Kami
harus berjalan pelan, berhenti untuk melapor. Hatiku
sempat berdetak kencang. Belum pernah aku rasakan
sweeping oleh laki-laki berambut cepak dan suara
berat. Ah....sang sopir begitu lihai bermain kata.
Kami pun lolos tanpa ada yang turun satupun. Wajahku
yang memerah diterpa matahari dan jilbab Acehku
berhasil menyembunyikan identitasku sebagai orang
asing di bumi Serambi Mekah.

Mobil kembali melaju kencang. Kami sendirian, jarang
sekali berpapasan dengan pengendara lainnya. Mungkin
karena hari telah mulai malam. Seerrrtttt......darahku
kembali mengalir ke ubun-ubun kepalaku. Di depan sana
kusaksikan beberapa orang berbaju loreng dengan
senjata AK terselempang di pundak dan digenggam erat
di tangan. Serasa siap tembak.............Tapi kata
sahabat baruku, pemandangan itu telah terjadi setiap
hari. Tidak apa-apa, aman.......

Hmmm......Aceh.......sejuta kenangan darimu telah
mengisi kisi-kisi kalbuku yang takkan terlupakan.


Pulau Sarok, Singkil 26 Februari 2004

Tidak ada komentar: